Senin, 18 Mei 2015

KONTEKS SEJARAH : PEMBANTAIAN 1965-1966 DI INDONESIA (SENYAP)

KONTEKS SEJARAH :
PEMBANTAIAN 1965-1966
DI INDONESIA

Disunting dari observasi atas pembantaian, dampak, dan implikasinya, oleh sejarawan Jhon Roosa. Terima kasih disampaikan kepada Jhon Roosa yang telah menyiapkan ringkasan ini. Catatan tambahan pada pembuka dan penutup ditulis oleh Jhosua Oppenheimer.

Pada tahun 1965, pemerintah indonesia digulingkan oleh tentara. Soekarno, presiden pertama Indonesia, pendiri gerakan non-blok, dan pemimpin revolusi nasional melawan penjajahan Belanda, disingkarkan dan digantikan oleh Jendral Soeharto yang berlaluan sayap kanan. Partai Komunis Indonesia (PKI), yang melawan penjajahan Belanda, dan didukung penuh oleh presiden Soekarno (yang bukanlah seorang komunis), segera dilarang.

Penggulingan Soekarno berawal dengan penculikan enam orang jendral Angkatan Darat dalam sebuah operasi yang dinamai Gerakan 30 September (G30S). Pada saat terjadi penculikan itu, PKI adalah partai komunis terbesar didunia di luar negara-negara komunis. Partai tersebut secara resmi bertekad meraih kekuasaan melalui pemilihan umum, dengan dukungan afiliasinya, termasuk serikat buruh di seluruh Indonesia dan serikat tani yang banyak beranggotakan petani tanpa tanah. Salah satu isu utama yang di angkat dalam kampanye PKI adalah reforma agraria (Land Reform), juga nasionalisasi perusahaan tambang minyak dan perkebunan milik asing. Dalam kampanye ini, PKI berusaha memobilisasi kekayaan sumber daya alam Indonesia untuk kepentingan rakyat Indonesia yang, setelah ratusan tahun dieksploitasi penjajahan, pada umumnya rakyat sangat miskin. Pihak militer menuduh PKI, seluruh anggotanya dan anggota organisasi yang berafiliasi dengannya, sebagai dan penggerak G30S.

Setelah operasi militer di tahun 1965 itu, setiap orang yang menetang pemerintahan diktatorial militer Orde Baru dapat dituduh sebagai komunis, juga mereka yang menjadi anggota serikat buruh, para petani tanpa lahan, intelektual, dan orang Tionghoa, termasuk mereka yang memperjuangkan redistribusi penguasaan daya ekonomi pada masa pasca penjajahan.

Dalam waktu kurang dari satu tahun, dengan bantuan langsung dari pemerintah negara-negara barat, lebih dari satu juta orang yang dicap sebagai komunis dibunuh. Di Amerika Serikat, pembantaian ini dianggap sebagai "kemenangan besar atas komunisme", dan secara umum dirayakan sebagai berita baik.

(Pengkambinghitaman orang-orang Tionghoa yang sudah datang ke Indonesia sejak abad ke-18 dan 19, dilakukan berkat hasukan dinas Amerika Serikat yang berupa mengganjal hubungan rezim baru di Indonesianini dengan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok. Pembantaian anggota PKI sampai ketingkat desa juga di dorong oleh Amerika Serikat karena khawatir bahwa tanpa pemberantasan "sampai ke akar-akarnya", rezim baru di Indonesia suatu saat akan mengakomadasi basis komunis yang masih ada).

Di banyak daerah di Indonesia banyak merekrut tentara sipil untuk melakukan pembunuhan, mereka diorganisasikan dalam paramiliter, diberi pelatihan dasr militer. Di provinsi Sumatera dan tempat-tempat lain, anggota paramiliter direkrut sebagian besar dari preman. Semenjak saat pembantaian dilakukan, pemerintah Indonesia merayakan penumpasan komunis sebagai sebuah perjuangan patriotik dan menyangjung para anggota militer dan preman sebagai pahlawan. Dalih yang dipakai untuk melakukan genosida pada 1965-1966 adalah pembunuhan enam orang jendral pada dini hari 1 Oktober 1965 [Joshua Oppenheimer].

Soeharto menuduh PKI mendalangi G30S dan kemudian menyelenggarakan sebuah pembantaian terhadap orang-orang yang terkait dalam partai tersebut.
Pasukan Soeharto menangkapi lebih dari satu setengah juta orang dan menuduh semuanya terlibat dalam G30S. Dalam sebuah pertumpuhan darah paling buruk di abad ke-20 ini, dan sebagian besar di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara sejak akhir 1965 sampai pertengahan 1966.

Gerakan 30 september adalah persekongkolan berskala kecil yang dilaksanakan oleh segilintir orang. Korban keseluruhan adalah 12 orang terbunuh. Soeharto membesar-besarkannya sedemikian rupasehingga peristiwa itu tampak seperti sebuah konspirasi nasional berkelanjutan dan akan melakukan pembunuhan masal. Bahkan para petani buta huruf di dusun-dusun terpencil, ditampilkan sebagai gerombolan pembunuh yang secara kolektif bertanggung jawab atas Gerakan 30 September.

Sampai penghujung masa kekuasaan rezim Soeharto pada 1998, pejabat pemerintah dan perwira militer Indonesia menggunakan hantu PKI sebagai tanggapan atas setiap masalah kerusuahan atau gejala pembangkangan  "bahaya laten komunisme". Landasan hukum yang dijadikan permulaan rezim Soeharto untuk menguasai lebih dari 30 tahun adalah perintah dari Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965 yang memberi wewenang kepada Soeharto untuk "memulihkan ketertiban". Perintah itu dikeluarkan dalam keadaan darurat. Tapi bagi Soeharto keadaan darurat itu tidak pernah berakhir. Dalam membangun ideologi yang membenarkan kediktatorannya, Soeharto menampilkan dirinya sebagai juru selamat bangsa yang telah menumpas Gerakan 30 September.
Sungguh mencengangkan bahwa kekerasan anti PK, suatu kejadian dengan skala luas, ternyata salah dimengerti sedemikian parah.

Masyarakat tidak akan percaya bahwa PKI merupakan ancaman yang mematikan karena partai ini bersifat pasif setelah G30S ditaklukan. Bekerja keras menyulut kemarahan rakyat melawan PKI sejak Oktober 1965.

Tentara dibawah komando Soeharto biasanya memilih penghilangan paksa secara diam-diam dari pada melakukan eksekusi di depan umum sebagai peringatan kepada masyarakat luas.
Tragedi sejarah modern Indonesia tidak hanya terletak pada pembunuhan masal 1965-1966 yang diorganisasi angkatan darat saja, tapi juga pada bertahtanya para pembunuh, yang memandang pembunuhan masal dan operasi-operasi perang urat syaraf sebagai cara-cara sah dan wajar dalam mengelola tat pemerintahan.

Menitikberatkan pertanyaan pada siapa membunuh jendral Angkatan Darat pada 30 September 1965 telah berfungsi menjadi semacam fetish (pengalih perhatian),menggeser semua perhatian dari pembunuhan terhadap lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis pada bulan-bulan selanjutnya. Rezim Soeharto memproduksi propaganda tanpa henti mengenai 'kekaeaman komunis'dibalik pembunuhan para jendral, dan sampai hari ini, sebagian besar pembahasan mengenai genosida telah tergusr oleh tema ini.